Select Country
Select Country

Jalan Kaki Melintasi Sungai Terpanjang di Sumatra

Pernah dengar nama Sungai Batanghari? Sungai Batanghari adalah sungai terpanjang di Sumatra. Hulunya berada di Sumatra Barat, mengalir melalui berbagai wilayah sampai ke Provinsi Jambi. Di Kota Jambi, Sungai Batanghari membelah kota menjadi kota modern dan kota tradisional. Disebut kota modern karena wilayah di selatan Kota Jambi ini layaknya ibu kota provinsi lainnya, mulai dari padat penduduk, heterogen, serta ramai dengan kesibukan di siang dan malamnya.

Di sebelah utara, Jambi Kota Seberang disebut kota tradisional. Sebagian masyarakat Jambi sendiri mengira wilayah ini adalah kabupaten, padahal bukan. Hal itu disebabkan kekhasan Seberang (sebutan populer untuk Jambi Kota Seberang) yang suasananya menyerupai perkampungan.

Berjalan Kaki Menyeberangi Sungai Batanghari

Meski hulu Sungai Batanghari ada di Sumatra Barat, tapi 76% daerah aliran sungai (DAS) Batanghari berada di Provinsi Jambi. Untuk mempertemukan kota modern dengan kota tradisional, Pemerintah Provinsi Jambi pada tahun 2012 membangun jembatan pedestrian. Jembatan yang selesai pada tahun 2014 itu dinamakan Titian Gentala Arasy, penggalan dari tiga kata; genta (suara), tala (keselarasan), dan arasy (memancar ke langit). Penamaan ini merupakan filosofi religiositas masyarakat yang ada di Provinsi Jambi.

Selain itu, Gentala Arasy juga merupakan akronim dari Genah Tanah Lahir Abdurrahman Sayoeti. Genah sendiri dalam bahasa Melayu Jambi berarti tempat. Abdurrahman Sayoeti adalah salah satu gubernur Jambi yang lahir di Jambi Kota Seberang. Beliau menjabat pada tahun 1989-1999, dan wafat tahun 2011 silam.

Dari kawasan Tanggo Rajo, di depan rumah dinas gubernur, Titian Gentala Arasy meliuk melangkahi Sungai Batanghari, dan berakhir di Menara Gentala Arasy yang terletak di Jambi Kota Seberang. Dikarenakan ini adalah jembatan pedestrian, maka hanya pejalan kaki yang boleh melintasinya. Dengan panjang 530 meter, kamu yang jarang berjalan kaki sebaiknya menyeberangi Sungai Batanghari melalui Titian Gentala Arasy pada pagi atau sore hari ketika cuaca tidak terlalu terik. Untuk kembali (ke Ancol maupun Seberang) bisa menumpang perahu kecil yang disebut ketek. Dengan menumpang ketek, kamu juga akan menikmati perjalanan menyeberangi Sungai Batanghari dalam versi lain. 

Museum Budaya Menara Gentala Arasy

Jika perjalanan menyeberangi Sungai Batanghari dimulai dari Ancol dan kuat melangkah hingga akhir jembatan, maka para pengunjung akan tiba di pelataran Menara Gentala Arasy pada ujung titiannya. Selain sebagai ikon Provinsi Jambi, Menara Gentala Arasy juga berfungsi sebagai museum kebudayaan. Di dalamnya terdapat banyak benda bersejarah dengan tema kebudayaan Jambi, di mana sisi religiusnya selalu melekat.

Sejarah masuknya Islam ke Jambi lengkap dengan foto ulama, Alquran kuno, dan lainnya terdapat di dalam museum ini. Di tengah ruangan terdapat lift yang dapat membawa pengunjung ke balkon menara untuk melihat Kota Jambi dari ketinggian. Di bagian bawah museum, terdapat ruang bawah tanah berupa auditorium untuk pemutaran film dokumenter terkait sejarah dan budaya Jambi. Kisah tentang SAD (suku anak dalam) sebagai suku asli Jambi juga menjadi salah satu bahan ulasan di tempat ini.

Kota Tradisional

Sebelum kembali ke kota modern, berjalan kaki lagi di sepanjang Titian Gentala Arasy atau menumpang ketek, ada baiknya kamu mengitari dulu wilayah kota tradisional Jambi Kota Seberang. Di tempat ini, sebagian besar warganya adalah penduduk asli Jambi. Berbeda dengan warga di sisi selatan Sungai Batanghari yang umumnya adalah pendatang dari berbagai daerah dengan berbagai suku. Menyusuri Jambi Kota Seberang tak akan memakan waktu lama karena wilayah ini hanya meliputi dua kecamatan saja, yaitu Danau Teluk dan Pelayangan. Di sepanjang jalan tidak akan ditemukan warga berpakaian terbuka karena penduduk di sini sangat menjaga tradisi dengan kultur Islam yang kental.

Pesantren tua dengan masjid-masjid kuno masih banyak tersebar di Jambi Kota Seberang. Sebagian sudah direnovasi menjadi lebih modern, sebagian masih nampak tradisional, tapi hampir semuanya masih aktif digunakan. Penduduk Jambi Kota Seberang saat ini adalah perpaduan dari suku asli Melayu Jambi dan pendatang Arab serta Cina di masa lampau, ratusan tahun silam. Hal ini bisa dibuktikan dengan peninggalan sejarah, salah satunya situs Rumah Batu yang terletak di Olak Kemang, Kampung Tengah. Selain pesantren dan masjid, di Jambi Seberang Kota terdapat pula sanggar batik yang menyediakan aneka kerajinan bermotif batik Jambi. Pada momen tertentu, Anda bisa ikut dalam proses pengaplikasian motif pada kain yang disediakan oleh pengelola sanggar batik.

Cagar Budaya Rumah Batu 

Rumah Batu Olak Kemang, begitu biasa orang menyebutnya. Oleh sebagian lain, disebut Rumah Rajo. Rumah ini adalah milik Said Idrus bin Hasan Al Djufri, besan dari pahlawan sekaligus tokoh ternama di Jambi, Sultan Thaha Saifuddin. Disebut rumah batu, karena pada masanya hanya rumah ini yang dibangun dari semen dan batu. Kebanyakan masyarakat Jambi Kota Seberang membangun rumah panggung dari kayu bulian dan tembesu, karena terbukti kokoh dan tahan lama.

Said Idrus bergelar Pangeran Wirokusumo, ia adalah keturunan Arab yang memiliki peranan penting pada masa kesultanan Jambi. Meski berdarah Arab, arsitektur rumah batu peninggalannya merupakan perpaduan dari budaya Eropa dan Cina. Relief naga, awan, dan bunga terlihat pada sisa-sisa tembok rumah. Terdapat arca singa di beberapa puncak tiang yang sepertinya merupakan sisa pagar atau semacamnya.Rumah ini berlantai dua, bukan seperti rumah panggung sekitar yang bagian bawahnya berupa kolong untuk ternak, penyimpanan kayu, perahu, dll. Tiang-tiang pancang dan pelatarannya bergaya khas Eropa. Terbayang, rumah ini pasti paling mencolok di antara rumah lainnya pada masa itu.

Konon, di tembok bagian dalam terdapat banyak relief dengan aksara Arab. Kamu yang berwisata ke Jambi Kota Seberang sebaiknya tak melewatkan situs rumah batu ini. Sebab meski dilabeli cagar budaya, perawatan terhadap peninggalan sejarah tersebut tidak nampak optimal. Dengan mengambil gambar dan mengunggahnya ke media sosial, siapa tahu kemudian ada pihak yang merasa terpanggil untuk menyelamatkan peninggalan kuno bernilai sejarah ini. Rumah Batu Olak Kemang dibangun pada abad ke-18. Cukup tua untuk dijadikan salah satu bukti toleransi masyarakat Indonesia yang sudah ada sejak zaman lampau.

Menikmati Sunset di Tanggo Rajo

Kembali ke kota modern, setelah bolak-balik menyeberangi Sungai Batanghari. Di depan rumah dinas kantor gubernur Jambi terdapat tangga yang sejak dulu dipakai untuk naik turun penguasa Jambi, dari atau menuju istana. Sebagaimana wilayah lain di Nusantara, Jambi juga pernah dipimpin sultan dan raja. Itulah sebab tangga tadi disebut Tanggo Rajo. Penggunaan huruf O di ujung kata memang jamak terjadi di Jambi. Penamaan Tanggo Rajo kemudian meluas menjadi nama area. Wilayah ini oleh warga setempat sering pula disebut Ancol. Pedagang jagung bakar, pempek, dan aneka penganan, berjejer di sini dengan posisi konsumen menghadap ke Sungai Batanghari.

Ancol atau Tanggo Rajo biasanya ramai dikunjungi pada sore dan malam hari. Melihat sunset di atas Sungai Batanghari, di antara cantiknya Titian Gentala Arasy dan hilir mudik kapal, pasti jadi momen indah saat kamu mengunjungi Kota Jambi. Jangan lupa untuk tetap menunaikan salat Magrib bagi kamu yang muslim. Dikarenakan masih dalam kawasan rumah dinas gubernur, ada masjid terdekat yang bisa didatangi saat waktu salat tiba.

Nah, itu dia aktivitas jalan kaki yang asyik di Sumatra. Kalau kamu menginginkan liburan yang berbeda dari biasanya, cara ini bisa menjadi alternatif. yang tepat. Selamat liburan, Teman OYO!

Artikel kiriman: Syarifah Lestari

Comments are closed here.

Please rotate your device

Please go back to portrait mode for the best experience